ELEKTRO INDONESIA             Edisi ke Empat Belas, Agustus 1998

SAJIAN UTAMA 

Rasionalisasi Tarif Listrik

Dihadapkan pada kendala fiskal dan kesepakatan bulan Januari dengan IMF, hampir seluruh pendanaan di sektor ketenagalistrikan harus diperoleh konsumen. Rasionalisasi tarif pada mulanya terlihat sebagai langkah esensial untuk melaksanakan restrukturisasi sektor ketenagalistrikan Indonesia dan berbagai bentuk privatisasi PLN. Di masa lalu, penyesuaian tarif hanya merupakan reaksi khusus terhadap penurunan drastis kinerja PLN dan sekarang ini rasionalisasi tarif dimaksudkan karena investor swasta membutuhkan prediksi aliran pendapatan PLN yang lebih baik. Lebih jauh lagi, maksud dari restrukturisasi tarif tenaga listrik adalah agar mampu menghasilkan penurunan biaya dan peningkatan pelayanan jika suatu sistem yang transparan memberikan insentif yang jelas secara konsisten kepada para produsen dan konsumen untuk terciptanya operasi dan investasi yang efisien.

Rasionalisasi tarif listrik dapat didefinisikan secara luas sebagai rancangan dan implementasi dari rezim penetapan tarif eceran dan mekanisme transfer keuangan lainnya untuk menyeimbangkan kelayakan keuangan para pemasok listrik dan kesejahteraan konsumen.

Akhir-akhir ini, jatuhnya nilai rupiah telah mengakibatkan rasionalisasi tarif menjadi hal kritis bagi kelangsungan operasional PLN dan beban keuangan Pemerintah serta keresahan sosial yang ditimbulkannya, karena sejumlah beban biaya ketenagalistrikan dinyatakan dalam mata uang US dolar, sedangkan pendapatannya dinyatakan dalam mata uang rupiah. Selama beberapa bulan terakhir ini, telah ada peningkatan sebanyak 4 kali terhadap biaya pembelian tenaga listrik dan komposisi biaya seperti BBM dan minyak pelumas di mana biaya ini dipengaruhi oleh perdagangan internasional, namun tarif listrik belum pernah disesuaikan secara signifikan sejak tahun 1994. Tanpa rasionalisasi tarif yang teratur, PLN tidak dapat memperoleh dana yang diperlukan untuk terus beroperasi. Hal ini akan dapat memaksa Pemerintah untuk menghadapi kemungkinan kebangkrutan PLN.

Pemerintah menyadari kebutuhan baru yang sangat mendesak akan restrukturisasi dan reformasi peraturan sektor ketenagalistrikan. Menaruh harapan bahwa akan dapat diperoleh tingkat efisiensi sebagai hasil dari tahapan pengenalan suatu struktur industri listrik berorientasi pasar yang lebih kompetitif, namun tanpa adanya tambahan suntikan dana dari Pemerintah ataupun konsumen, akan tetap terdapat kesulitan untuk memastikan adanya pendanaan yang memadai bagi sektor ketenaga-listrikan ini. Rasionalisasi tarif merupakan langkah awal dan paling mendasar untuk menuju terciptanya sektor ketenagalistrikan yang sehat, efisien, dan mampu memacu perkembangan sosial-ekonomi yang lebih lanjut.

Kerangka rasionalisasi tarif ini mensyaratkan bahwa aliran keuangan antara konsumen dan Pemerintah dan PLN tersebut mengikuti persamaan berikut ini:
 

C + G = REV REQ

Dana untuk membiayai pasokan listrik dapat berasal dari berbagai sumber. Dana ini dapat berasal dari konsumen atau Pemerintah. Oleh karena itu, dana yang berasal dari penjualan kepada konsumen (C) ditambah dana yang ditransfer dari Pemerintah (G) harus sama dengan tingkat pendapatan yang diperlukan oleh pemasok (REV REQ). Rasionalisasi tarif akan menentukan bagaimana parameter-parameter ini harus diseimbangkan agar tercapai hubungan sebagaimana terlihat pada persamaan di atas.

Analisis ini dimulai dengan suatu telaahan pengukuran kinerja keuangan. Target keuangan dan parameter biaya PLN yang lain akan menentukan tingkat pendapatan yang diperlukan (revenue requirement) oleh PLN. Dalam hal tidak terdapat kontribusi Pemerintah, tingkat pendapatan yang diperlukan menentukan tingkat tarif yang harus dibayar konsumen. Sebuah struktur tarif yang diperoleh dari hasil analisis biaya marjinal jangka panjang (Long-Run Marginal Cost/LRMC) untuk pasokan tenaga listrik kemudian diskalakan dengan tingkat pendapatan yang diperlukan. Hal ini akan menghasilkan tarif yang efisien secara ekonomis, dan tingkat pendapatan yang netral. Tarif yang seperti ini memenuhi dua kriteria rasionalisasi tarif, yaitu mampu memastikan kelayakan keuangan pemasok, dan menghilangkan distorsi ekonomi. Untuk memenuhi kriteria ketiga dari rasionalisasi tarif, perlu dilakukan pengukuran atas dampak dari tindakan penyesuaian tarif yang sekarang berlaku, dan pembentukkan suatu mekanisme pendanaan Pemerintah yang baru untuk memastikan tidak terdapatnya lagi subsidi seperti yang melekat pada tarif yang sekarang berlaku.

Kinerja Keuangan PLN

Pendapatan yang diperlukan (revenue requirement) bagi PLN adalah tingkat pendapatan yang diperlukan agar PLN mampu mencapai tingkat kinerja keuangan yang ditetapkan. Sebagai hasil dari perjanjian pinjamam dengan lembaga keuangan internasional, PLN menetapkan tingkat keuntungan (rate of return) konsolidasi sebesar 8% untuk nilai total aktiva yang telah dinilai ulang (net revaluated assets) sebagai target kinerja keuangannya. Namun demikian, target tersebut belum pernah tercapai dalam periode sepuluh tahun terakhir ini dan terutama sekali tidak realistis untuk diterapkan pada kondisi krisis sekarang ini.

Dalam pengukuran kinerja keuangan terdapat tiga sudut pandang utama yang berbeda kepentingan, yaitu: manajemen, yang terutama mempunyai perhatian terhadap tingkat efisiensi operasi dan penggunaan modal; pemilik, yang terutama mempunyai perhatian terhadap tingkat keuntungan sekarang dan di masa mendatang; dan pihak penyandang dana, yang terutama mempunyai perhatian terhadap kelancaran angsuran dana yang mereka berikan.

Tiga cara pengukuran tingkat keuntungan yang umum digunakan dalam bidang keuangan infrastruktur adalah ROA (Return on Assets), ROR (Return on Rate Base), dan ROE (Return on Equity). ROA adalah ukuran tingkat efisiensi penggunaan total investasi sistem ketenagalistrikan. ROR, mempunyai lingkup lebih kecil, yaitu ukuran laba operasional relatif terhadap aktiva tetap bersih yang digunakan dalam operasional. ROE adalah ukuran laba dalam hubungannya dengan nilai investasi para pemilik.

Ukuran tingkat kelancaran angsuran hutang juga penting antara lain meliputi DSC (Debt Service Coverage) dan SFR (Self-Financing Ratio). DSC menghitung pendapatan operasional relatif terhadap pembayaran angsuran hutang, sedangkan SFR merefleksikan kapasitas untuk mendukung investasi modal melalui upaya pembiyaan internal. Tingkat SFR yang rendah merefleksikan bahwa suatu infrastruktur tidak mampu mendukung pertumbuhannya sendiri secara substansial dan akan harus bergantung pada pendanaan dengan menggunakan hutang yamg besar. Tingkat keuntungan PLN dalam semua ukuran terlihat rendah baik dalam standar regional maupun standar dunia. PLN memperlihatkan angka yang relatif lebih baik untuk tingkat angsuran hutang, namun kinerja ini terlihat menunjukkan penurunan yang serius selama beberapa tahun terakhir (lihat Tabel-1).
 
 

Tabel 1. Kinerja keuangan PLN beberapa tahu terakhir
1994 1995 1996 1997E Pasifik Dunia
Profitability
ROR (revalued) (%) 
ROR (unrevalued) (%) 
ROE (%) 
ROA (%)
4.2 
5.8 
3.0 
2.8
6.1 
8.3 
4.3 
4.0
4.7 
7.6 
4.0 
4.0
3.2 
5.3 
1.8 
3.0
6.3 


-
10 to 15 

16 to 20 
4 to 5
Dedt service ability:
DSC (%) 
Interes coverage (%) 
SFR (annual) (%) 
Current ratio (%)
5.7 
9.6 
31.5 
0.8
6.7 
7.7 
24.7 
0.6
2.6 
4.6 
38.5 
1.1
1.6 
3.6 
4.6 
1.0
2.2 

28.5 
-

3.0 
30.0 
1.0
 

Pemerintah lewat peraturan-peraturannya tidak memberikan petunjuk jelas tentang target kinerja PLN yang tepat. Sebaliknya, sejumlah peraturan menyinggung tujuan komersial operasional PLN sedangkan di peraturan lain menyinggung kewajiban sosial yang harus dijalankan PLN tanpa mengindikasikan menyeimbangkan kedua tujuan yang seringkali bertentangan tersebut. Sebagai alternatif, suatu target keuangan yang realistik harus ditetapkan di mana target tersebut harus mampu merefleksikan tujuan-tujuan pemilik (Pemerintah Indonesia) maupun pihak penyandang dana PLN (Multilateral Development Banks/MDBS, bank-bank komersial dan pemegang obligasi).

Pemerintah sebagai pemilik harus menyeimbangkan keinginan untuk menswastanisasikan PLN dengan keinginan untuk meminimumkan setiap kenaikan tarif dan ketidakmampuannya dalam membiayai subsidi. Privatisasi dalam segala bentuk dapat berjalan lancar jika bagian PLN yang diswastanisasi akan memberikan tingkat keuntungan yang kompetitif secara internasional serta jika terdapat tingkat pertumbuhan yang memadai untuk menciptakan lingkungan investasi yang stabil, seperti misalnya adanya suatu kerangka pengaturan yang transparan yang mengikatkan biaya di masa mendatang dan aliran pendapatan kepada kekuatan pasar daripada kepada kekuatan politik tertentu.

Mengingat bahwa kemampuan Pemerintah untuk mendanai subsidi dan kemampuan konsumen untuk membayar tarif yang lebih tinggi banyak dipengaruhi oleh kondisi ekonomi yang sedang krisis pada saat ini, kinerja keuangan PLN jangka pendek harus diarahkan untuk tetap bertahannya operasional PLN daripada untuk mencapai tingkat laba berstandar internasional untuk menarik para investor. Kemampuan untuk tetap beroperasi (survival), di mata para penyandang dana, merupakan kemampuan untuk membayar hutang. MDBs bersedia membantu Pemerintah Indonesia dalam restrukturisasi sektor ketenagalistrikan jika ROR sebesar 8% dalam perjanjian pinjaman ditetapkan untuk mendukung proses ini. Untuk meyakinkan MDBs bahwa perubahan yang esensial sedang dijalankan, suatu bentuk perjanjian pinjaman yang khusus berdasarkan kerangka restrukturisasi harus ditetapkan jika terdapat penurunan target kinerja.

Oleh karena itu, sebagai ganti adanya penetapan target kinerja jangka pendek yang hanya menjanjikan tidak lebih dari kemampuan PLN untuk terus beroperasi maka para pemilik dan kreditur dapat mengharapkan adanya kemajuan dalam pembentukan suatu lingkungan dengan sejumlah bentuk privatisasi.

Artikel lanjutannya: Tingkat Pendapatan yang Diperlukan  ......


 [ Sajian Khusus ]
[KOMPUTER] [TELEKOMUNIKASI] [KENDALI] [ENERGI] [INSTRUMENTASI] [MULTIMEDIA]

Please send comments, suggestions, and criticisms about ELEKTRO INDONESIA.
Click here to send me email.
[ Halaman Muka
© 1996-1998 ELEKTRO Online.
All Rights Reserved.