ELEKTRO INDONESIA                Edisi ke Sembilan, Oktober 1997
ENERGI

Alternatif Teknologi Maju Sebagai Pemasok Energi di Kawasan Timur Indonesia (KTI)

Berbagai upaya telah dilakukan untuk pemerataan pembangunan keseluruh Tanah Air, terutama ke Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang selama PJP-I banyak tertinggal dari wilayah lainnya. Pemerintah telah mencanangkan program pengembangan pada 13 titik-titik sentral pembangunan di wilayah KTI tersebar dalam wilayah yang sangat luas dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Untuk mendukung dan mewujudkan rencana tersebut diperlukan partisipasi dan kerja keras dari semua pihak. Energi listrik dan air bersih dalam jumlah yang cukup dan memadai mutlak diperlukan sejak tahap awal pengembangan. Teknologi kovensional (diesel generator) dan teknologi maju (jenis PLTS-pembangkit listrik tenaga surya) telah diperkenalkan pada daerah ini, namun belum membuahkan hasil yang memuaskan karena sejumlah kendala dilapangan masih sulit ditangani. Oleh karena itu perlu dicarikan alternatif lain yang dapat menyelesaikan kedua masalah pelik tersebut. Didalam makalah ini dijelaskan kajian tentang kemungkinan menerapkan teknologi maju lainnya sebagai pemasok kedua kebutuhan dasar tersebut pada daerah terpencil disepanjang pantai KTI. Teknologi ini dipilih karena alasan-alasan tertentu antara lain unggul, sederhana, bersifat modular, murah serta mempunyai tingkat keamanan yang sangat tinggi dan mudah sistem mengoperasikannya dan dalam sistem pemeliharaannya. Disamping itu mempunyai daur bahan bakar yang panjang dan dapat dioperasikan oleh sedikit orang karena semua peralatan dapat bekerja secara otomatis. Instalasi ini sangat ekonomis untuk dioperasikan dalam jangka panjang karena dapat berumur antara 40-60 tahun serta tersedia dalam berbagai modul mulai dari 5-100 MWe. Dengan kapasitas daya tersebut memungkinkan digunakan untuk tujuan ganda (dual purpose): produksi listrik dan produksi air bersih melalui proses desalinasi air laut/payau, sehingga dapat menyelesaikan kendala utama dalam proses pengembangan wilayah pantai pada umumnya terlebih lagi untuk wilayah KTI.

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan pantai terpanjang didunia dan berpenduduk hampir 200 juta jiwa. Lebih dari 60% penduduk berdiam dipedesaan, terpencil, memiliki pola perumahan yang menyebar terlebih-lebih di Kawas Timur Indonesia (KTI). Wilayah KTI ini juga minim dari sumber daya alam/energi (SDA), sumber daya manusia (SDM) dan infra sruktur lainnya. Pada daerah-daerah tertentu kondisi ini diperparah lagi oleh kerusakan lingkungan karena pembabatan hutan mangrove, limbah industri/rumah tangga dll.[1] Kondisi tersebut sangat menyulitkan dalam perencanaan penyediaan listrik dan air bersih. Padahal listrik dan air adalah dua kebutuhan pokok untuk memacu pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Untuk tingkat Asean misalnya Indonesia tercatat masuk dalam katagori tingkat pemakaian listrik dan air per kapita terendah[1].Hal ini bisa dimaklumi karena belum semua daerah di Nusantara ini terjangkau oleh sistem jaringan listrik dan jaringan air bersih. Memang sulit dipercaya bahwa Indonesia yang terletak dalam kawasan tropis basah mengalami kekurangan air, pada musim hujan kebanjiran dan pada musim kemarau kekeringan, daerah yang paling menderita adalah desa-desa pesisir pantai di KTI. Oleh karena itu perlu diupayakan teknologi maju untuk mengolah sumber air yang tersedia pada musim kemarau misalnya teknologi desalinasi air laut/payau. Untuk memacu pertumbuhan wilayah pedesaan pantai KTI, pemerintah telah menetapkan 13 titik sentral pertumbuhan ekonomi[1,6]. Sebagaimana telah dilaporkan bahwa berbagai upaya telah dilakukan seperti PLTS (tenaga surya) dan PLTD (diesel generator) dalam upaya penyediaan listrik di pedesaan, dan dari pengalaman mereka dilapangan sejumlah kendala masih belum terselesaikan antara lain mahalnya investasi jaringan distribusi, sulitnya kesinambungan pasokan bahan bakar diesel serta kesulitan sistem pemeliharaan PLTS dan lain sebagainya[1]. Konsep terpadu reaktor daya kecil (dikenal dengan sebutan LTM-laboratorium teknologi maju) menjanjikan akan dapat menyelesaikan permasalahan yang masih tersisa dalam penyediaan listrik dan air. Dikenal dua tipe LTM: reaktor berpendingin air (LWR) dan reaktor berpendingin gas (HTGR). LTM jenis LWR sudah lama beroperasi di Rusia dan Cina untuk pemasok listrik dan panas, sedangkan jenis HTGR pernah sukses beroperasi selama 22 tahun di Jerman. Beberapa negara lain seperti Argentina, Korea, Cina dan Afrika Selatan sangat antusias mengembangkan konsep LTM ini untuk produksi listrik dan air bersih (desalinasi air laut)[1,3,4,5,7,10]. Sebelumnya telah diperkenalkan konsep LTM tipe air ringan (LWR) dari desain reactor CAREM-Argentina [1], naskah ini menurunkan kajian tentang reaktor LTM tipe HTGR dari proyek PBMR(pebble bed modular reactor)-ESKOM Afrika Selatan. Proyek PBMR ini menarik perhatian banyak orang karena PBMR sendiri mempunyai fleksibilitas terhadap operasi dan siting, masa konstruksi yang relatif sangat singkat dan biaya pembangkitannya bisa jauh lebih rendah dibanding dengan dengan PLTU batubara terutama di lokasi-lokasi dimana transportasi batubara menjadi masalah.

Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan masukan pada kebijaksaan sistem perencanaan dan pengembangan wilayah KTI dengan memperhatikan kemampuan dan potensi SDA, SDM yang dimiliki Indonesia guna memelihara kesinambungan dan pemerataan pembangunan Nasional keseluruh wilayah di Tanah Air, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat pedesaan Indonesia.

Pengembangan KTI dan Kriteria Pembangkit Energi

a. Rencana Pengembangan Wilayah KTI

Telah dilaporkan secara luas melalui masmedia bahwa laju pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun waktu PJP-I (6,8% per tahun) dan dengan perdapatan per kapita naik dari 70 dollar AS pada tahun 1969, menjadi 700 dollar AS pada akhir PJP-I[1,6]. Kemajuan ini belum dapat dinikmati oleh sebagian besar penduduk pedesaan KTI, tingkat kesejahteraan masyarakat KTI tertinggal jauh dari KBI(kawasan Barat Indonesia). Untuk memperkecil kesenjangan ini perlu dilakukan usaha terpadu oleh semua pihak. Pemerintah Indonesia telah merumuskan kebijaksanaan [1,6]dan memberikan kemudahan untuk menarik minat investor ke Kawasan Timur Indonesia (KTI) berupa: (1) pemberian insentif investasi, (2) pengembangan satu kawasan andalan disetiap propinsi, (3) pengembangan komoditas unggulan, (4) pengembangan kawasan potensial untuk berkembang, dan (5) subsidi silang antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan KTI.

Di antara titik sentral (kawasan andalan) yang terletak di 13 propinsi KTI [1,6] adalah Biak (Irja), Pulau Seram (Maluku), Betano-Natarbora-Viqueque (TimTim), Mbay (NTT), Bima (NTB), Manado-Bitung (Sulut), Batui (Sulteng), Buton-Kolaka-Kendari (Sultra), Pare-pare (Sulsel), Daerah Aliran Sungai/DAS Kahayan-Kapuas-Barito (Kalteng), Samarinda-Sangasanga-Muara Jawa-Balikpapan (Kaltim), Satui-Kusan-Kelumpang-Batulicin-Pulau Laut (Kalsel), dan Sanggau (kalbar). Pengembangan wilayah andalan ini akan memberikan dampak langsung pada daerah pedesaan sekitarnya.

b. Kriteria LTM-KTI untuk Produksi Listrik dan Air Bersih

Seperti telah dilaporkan [1] bahwa hampir seluruh wilayah KTI mempunyai infrastruktur yang lemah, minim ketersediaan sumber daya alam/energi, dan minim pula sumberdaya manusia yang terdidik karena juga terpaksa larut dalam proses urbanisasi ke kota-kota di KBI. Melihat serta mempertimbangkan berbagai kondisi di lapangan, maka diajukan kriteria desain pembangkit energi LTM yang sesuai (met) guna dapat mengantisipasi segala kekurangan fasilitas yang dimiliki KTI. Diantara kriteria-kriteria desain LTM tersebut adalah sebagai berikut:

Konsep Terpadu LTM-PBMR

PBMR adalah teknologi HTGR Jerman yang menggunakan close cycle gas turbine untuk membangkitkan listrik. Temperatur siklus tertinggi 900oC dan siklus efisiensi mencapai 50%. Biaya keseluruhan dirancang sedemikian rupa agar dapat bersaing dengan PLTU-ESKOM yang pada saat ini dikenal sebagai pembangkit yang termurah didunia.

* Status Teknologi (HTGR & Desalinasi)

Teknologi HTGR telah dikembangkan sejak tahun 1960-an dengan menggunakan gas helium sebagai pendingin teras reaktor. Telah dibangun dan beroperasi 5 buah instalasi HTGR diberbagai tempat, satu di Inggeris, dua buah di Amerika Serikat dan dua buah di Jerman dan saat ini sedang dibangun dua buah lagi (di Jepang dan Cina) [2]. Bahan bakar reaktor jenis ini berbeda dengan reaktor tipe LWR, terdiri dari partikel bahan bakar (bola kecil diameter 10 mm) yang di coating dengan keramik yang tersebar secara maktrik dalam grafit berbetuk bola berdiameter 60 mm, data percobaan menunjukkan tidak ada terjadi kerusakan bahan bakar pada temperatur hingga 1600oC, dan tidak ada bahan bakar yang mencair pada temperatur hingga 3500oC. HTGR mempunyai power density yang sangat rendah bila dibandingkan dengan LWR. Secara umum dapat dikatakan reaktor jenis ini mempunyai tingkat keselamatan yang tinggi (inherent safety). Pengoperasian pada temperatur 950oC telah sukses didemonstrasikan di Jerman selama 22 tahun dan dengan temperatur operasi yang tinggi ini sangat memungkinkan untuk memperoleh efisiensi panas yang lebih tinggi dari reaktor jenis PWRs-LWR(temperatur tetinggi 320oC, effisiensi 33%). Bila steam cycle digunakan pada HTGR akan diperoleh efisiensi 40%, dan bilamana close cycle gas turbine (Brayton cycle) yang digunakan efisiensi dapat mencapai 50%. Pada produksi listrik dengan sistem ini, sangat dimungkin untuk memanfaatkan/meng coupling instalasi desalinasi (MSF, MED) pada salah satu bagian dari siklus operasi Brayton cycle" atau dapat menggunakan listriknya untuk proses desalinasi tipe RO(riverse osmosis). Sebagai acuan proses desalinasi dewasa ini dengan masukan daya sebesar 40 MWe dapat memproduksi air bersih sebesar 80.000 m3/hari [1,5,7 ].

Teknologi desalinasinya sendiri terdiri dari tipe membran (RO) dan tipe destilasi (MED, MSF) beserta bentuk kombinasi (hibrida) yang kesemuanya sudah beroperasi secara komersial dan dengan harga bersaing (0.4 - 1.2 US $/m3 air) di pesisir pantai Amerika, Afrika utara, Timur tengah, Jepang, Federasi Russia dan Australia baik dengan menggunakan sumber energi pembangkit fosil (PLTD, PLTGU, PLTU) maupun sumber energi PLTN. Pada skala kecil juga telah dioperasikan di Indonesia untuk produksi air bersih dan air industri boiler[3,7].

* Konsep PBMR-ESKOM

Perusahaan listrik Afrika Selatan (ESKOM) telah melakukan kajian dan evaluasi untuk pembangkit listrik generasi mendatang (dalam rentang waktu lebih dari 15 tahun kedepan)[2]. Sejumlah teknologi pembangkit energi telah diinvestigasi dan salah satunya adalah HTGR modular, close cycle gas turbine dan dengan ukuran 100 MWe. Proyek PBMR-ESKOM Afrika Selatan ini dijadualkan sudah akan memasuki detail engineering dan konstruksi tahun 1998 dengan melibatkan sejumlah besar perusahaan lokal (lebih dari 80%) seperti IST (system engineering), AEC (turbomachinary) dan perusahaan sipil enjinering lokal (building and seismic). Perusahaan/institusi luar (KFA-Julich, ABB-Siemen dan ECN-Belanda) yang dilibatkan hanya terbatas pada tahap kajian teknologi dan keselamatan PBMR. KFA-Julich telah terlibat banyak dalam desain dan analisa keselamatan proyek HTGR Jerman sebelumnya. Menurut skenario, ESKOM merencanakan akan membangun 11 unit di Afrika Selatan (10.000 MWe) dengan unit 1 sebagai pilot plant dan model plant untuk unit 2,3 dan seterusnya[2].

Instalasi PBMR terdiri dari satu gedung dengan ukuran 50m x 26m dan tinggi 42 m dimana 21m berada dibawah tanah. PBMR mempunyai dua komponen besar, bagian reaktor dan bagian power conversion unit (PCU) yang satu sama lain dihubungkan melalui pipa helium . Reaktor tebentuk dari blok grafit setebal 2,4 meter, sehingga reactor pressure vessel (RPV) berdiameter dalam 3,6 m dan luar meter 6,0 m serta tinggi 9m. Bahan bakar ditambahkan dari bagian atas reaktor yang kemudian membentuk pebble bed, gas helium mengalir dari arah atas ke bagian bawah teras. Teras berisi bahan bakar setinggi 6 m dan bola-bola bahan bakar ini terus bergerak dari atas kebawah secara alamiah. Bahan bakar ini dikembalikan ke teras atau dikirim ke penyimpanan bahan bakar bekas melalui online-refueling machine. PCU terdiri dari dua rangkaian utama. Rangkaian pertama terdiri dari dua unit turbo-commpressor 10.000 rpm dan intercooler. Rangkaian kedua terdiri dari power turbine dan generator (3.000 rpm/100 MW), repeculator dan precooler. Peralatan turbomachinary menggunakan magnetic bearing untuk menghindari kontaminasi helium. Sirkuit helium mempunyai tekanan tertinggi 70 bar dan terendah 32 bar, temperatur luaran helium teras 900oC dan kembali ke teras pada temperatur 620oC. Tempertur helim terendah pada sirkuit adalah 40oC pada precooler setelah melewati recuperator dan efisiensi termal total diperkirakan dapat mencapai 50%. Tampilan desain data PBMR-ESKOM Afrika Selatan terlihat pada Tabel 1.

Table 1
Data tampilan instalasi PBMR-ESKOM Afrika Selatan (2)
Descriptionrating
Reactor core thermal output (MWth)
Net electrical power output (Mwe)
Thermal hydraulic cycle efficiency, %
Net plant efficiency, %
Core inlet temperature, 0C
Core outlet temperature, 0C
Helium mass flow rate through core, kg/s
Nominal pressure at core, MPa
Helium core bypass mass flow rate for compo
nent cooling e.g reactor vessel and cobntrol rods, kg/s
Pressure drop over core, MPa
A verage core power density, MW/m3
Brayton cycle pressure ratio
Compressor efficiency, %
Turbine for compressor efficiency, %
Power turbine efficiency, %
Altenator efficiency, %
Ramping capability (up+down) between
0-100% power load, %/min
Step function, % of current power between
0-100% power level
Load rejection, %
226
100,9
47,3
44,7
558
900
116,8
7,0
4,4

0,09
2,4
2,7
87
89
90
97,5

10

10
100
Instalasi PBMR-ESKOM ini dirancang sedemikian rupa, memenuhi semua persyaratan nuklir yang diperlukan seperti bangunan tahan gempa, anti missile serta dilengkapi dengan peralatan proteksi emisi bahan radioaktif ke atmosfir dan lain sebagainya.

* Evaluasi Ekonomi

Seperti telah dijelaskan bahwa ESKOM adalah perusahan murni utility listrik dan oleh karena itu semua analisa dan perhitungan ekonomi pada proyek PBMR ini dilakukan secara "non profit" artinya ESKOM bertindak sebagai kontraktor atau vendor untuk dirinya sendiri[2]. Kajian terhadap biaya modal PBMR telah dilakukan, untuk unit 1 misalnya 94% dari biaya bahan yang diperlukan diperoleh dari supplier quotation dan hanya 6% biaya bahan diambil melalui harga perbandingan desain sejenis. Total modal yang diperlukan untuk PBMR (100 MWe) unit pertama adalah R478 millions (100 million US $ atau kurang lebih 1000 US$/kWe) dan dibangun di Afrika Selatan. Untuk unit-unit berikutnya biaya modal akan jauh lebih murah dari unit 1 (karena semua biaya desain dan pengembangan serta biaya lisensi telah dibebankan pada unit pertama). Demikian juga telah dilakukan kajian terhadap biaya operasi (termasuk: operasi, bahan bakar dan pemeliharaan), biaya back end (decomisioning dan final disposal bahan bakar bekas) setelah LTM-PBMR ini beroperasi selama 40 tahun (lihat Tabel 2).
Tabel 2
Rincian pembiayaan proyek PBMR-ESKOM Afrika Selatan (2)
Parameter
Amount (R)
(1 US$=4.4R)
Total operating and Maintenance cost per Mwe.hr
Total fuel cycle and helium cost per MWe.hr
Total Plant invesment cost per MWe.hr
R 7
R 19
R 26
Total owning and operating cost per MWe.hrR 52

Dari analisa ekonomi ini diperoleh biaya produksi listrik PBMR-ESKOM Afrika selatan ini kurang dari 2 US cent/kWh[2]. Selanjutnya bila kajian ESKOM diterapkan di Indonesia terutama di KTI, sejumlah pertanyaan muncul yang meminta jawaban segera. Penulis telah coba mendiskusikan dan menganalisa persamaan dan perbedaan dalam sistem finansial di kedua Negara dan kemampuan teknologi domestik. Perbedaan yang mendasar adalah discount rate sebesar 6% di Afrika Selatan sementara di Indonesia diatas 10%. Perbedaan lain adalah tingkat bunga Bank sebesar 14-15% di Afrika Selatan sementara di Indonesia diatas 20%. Partisipasi domestik Afrika Selatan untuk proyek PBMR ini mendekati 80% sementara untuk Indonesia diperkirakan hanya 20-30% pada unit 1 (bila diasumsikan dibangun di Indonesia) dan akan naik terus seiring dengan pembangunan unit berikutnya. Hal-hal seperti inilah yang membuat biaya produksi listrik di Indonesia lebih tinggi, namun demikian menurut analisa kasar penulis dengan menerapkan hitungan dan analisa dari ESKOM-Afrika Selatan ini setinggi-tingginya biaya produksi listrik menjadi 2 kali daripada Afrika Selatan atau menjadi 4 US cent/kWh untuk tahap pemikiran pertama, akan tetapi untuk pemikiran selanjutnya perlu dicermati oleh pihak investor (Swasta) karena Negara Indonesia akan ikut bergulir dalam era globalisasi, ketatnya persaingan disegala bidang kondisi dan persyaratan finansial yang berlaku di Afrika Selatan saat ini akan berlaku juga di negara lain termasuk di Indonesia. Tambahan pula bila hitungan-hitungan dan asumsi untuk Indonesia ini benar, pertanyaan selanjutnya mengapa biaya produksi listrik PLTU batubara Indonesia umumnya dipatok pada harga 5-6 US cent/kWh, 500-600% lebih tinggi dari biaya produksi listrik di Afrika Selatan, dua negara yang dalam nota bene sama-sama penghasil/ pengekspor batubara didunia, suatu hal yang perlu mendapat perhatian kita semua. Biaya produksi 4 US cent/kWh adalah harga yang cukup ideal dan akan memungkinkan terjangkau untuk diintroduksi di Indonesia termasuk masyarakat KTI yang sangat memerlukan energi listrik untuk mengembangkan wilayahnya. Keuntungan lain dari pembangunan LTM-PBMR ini adalah ukuran yang kecil (100 MWe), masa konstruksi pendek (24 bulan), dan biaya modal per kWe lebih rendah daripada PLTN jenis LWR ukuran besar. Enjineer dan staf yang diperlukan sangat sedikit antara 50-75 orang sudah mampu menangani 10 unit PBMR dengan total daya 1000 MWe. LTM-PBMR ini sangat sesuai untuk negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia yang selalu mengalami kesulitan dalam finansial mega-proyek PLTN; pemerintah/investor swasta dapat melakukan pembangunan secara bertahap sesuai kemampuan dan keperluan. Tadi sudah disinggung bahwa instalasi PBMR ini dapat di coupling dengan proses desalinasi untuk produksi air dengan memanfaatkan reject heat dalam Brayton cycle.

Bila dikaitkan kondisi dan kriteria LTM untuk produksi listrik dan air bersih di KTI, kajian desain PBMR-ESKOM Afrika Selatan ini dapat memenuhi kriteria yang diperlukan oleh suatu daerah (Kabupaten, Kecamatan, Desa, Pulau kecil lainya) Di KTI. Dan tentang pekerjaan modifikasi desain bilamana diperlukan dapat dilakukan oleh tenaga ahli Indonesia (Batan) berbekal pengalaman yang dimiliki selama bertahun-tahun di dalam dan luar negeri (desain RPI-serpong dan partisipasi desain di GA/Westinghouse-USA, Toshiba/Mitsubishi-Jepang, INVAP-Argentina). Untuk menangani berbagai masalah enjineering dan pendanaan dapat dibentuk perusahaan patungan (joit venture) antara perusahaan domestik dengan asing misalnya PPE-PLN, Batan, swasta Nasional lainnya dengan swasta asing.

Besarnya kapasitas daya LTM-PBMR dan ini sangat tergantung dari jumlah penduduk dan mata pencahariannya. Apakah listrik dan air hanya terbatas penggunaan untuk rumah tangga saja atau ada kemungkinan lain untuk digunakan pada industri (home industri, pertanian, peternakan dll.). Menurut standar negara maju (Jepang, Rusia) 4.5 MWe cukup untuk dikonsumsi oleh 10.000 jiwa, akan tetapi standar konsumsi listrik dan air per kapita per tahun di Indonesia jauh dibawah standar negara maju (listrik: 400 kWh/orang/tahun, air bersih: 186 liter/orang/hari) barangkali 4,5 MWe sudah cukup melistriki 120.000 jiwa dan bila dikombinasikan dengan produksi air bersih desalinasi air laut cukup melayani konsumen 60.000 jiwa [1]. Sebagai gambaran untuk masyarakat di Pulau Batam-Riau (terbatas untuk keperluan rumah tangga), PT. PLN memasok 87 MWe dan baru terpakai setengahnya. Untuk tahap pertama satu unit PBMR (100 MWe) cukup untuk mengantisipasi semua keperluan listrik dan air bersih untuk satu wilayah unggulan KTI (bahkan mungkin untuk tahap pertama untuk satu provinsi) dari 13 wilayah unggulan ditetapkan pemerintah.

Kesimpulan

  1. Ketersediaan tenaga listrik dan air yang bersih dalam jumlah yang memadai merupakan salah satu prasyarat bagi pengembangan wilayah KTI.
  2. Teknologi terpadu LTM-PBMR mempunyai keuntungan ganda, selain dapat memproduksi sekaligus listrik dan air bersih dengan harga bersaing, juga telah dapat mengatasi kesulitan pasokan bahan bakar fosil ke daerah terpencil KTI.
  3. LTM-PBMR merupakan solusi dan sangat berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia yang berjarak jauh dari mulut tambang guna menunjang penyediaan energi (listrik) dimasa mendatang terlebih daerah pesisir pantai KTI.

Daftar Acuan

  1. Amir Rusli dan Iyos R. Subki, Prospek penerapan teknologi maju untuk penyediaan energi listrik dan air bagi daerah pesisir di kawasan timur indonesia (KTI), Praprosiding Lokakarya Energi XVI, Puspitek-Serpong, 15-17 Oktober 1996
  2. D.R. Nicholls, Notes on the pebble bed modular reactor (PBMR) studies, IAEA expert mission, Jakarta, 16-27 Juni 1997
  3. Amir Rusli et al., Design sytem on nuclear desalination for petrochemical complex of Natuna project, IAEA-Symposium on desalination of seawater with nuclear energy, Taijon-Korea, 26-30 May 1997
  4. Amir Rusli et al., Prospect of floating desalination facilities using nuclear energy in Indonesia, IAEA-TCM,Obninsk-Russia, May 1995
  5. Geni Rina S, Amir Rusli dkk., Prospect on desalinatiomn by using nuclear energy in Indonesia, IAEA-AGM, Jakarta, 21-23 Nopember 1995
  6. Kawasan andalan KTI: Dari Sanggau sampai Biak, Koran Kompas, 7 Mei 1996
  7. Small and Medium Power Reactor: Project Initiation Study Phase I, IAEA-TECDOC-347, Vienna, 1985
  8. Coupling diagram for energy sources and desalination plants, General Atomics, 1995
  9. J.R. Humphries, Desalination and water resources development plant-Early phases, Candesal Inc., 25 September 1995
  10. Nuclear applications for steam and hot water supply, IAEA-TECDOC-615, Vienna, July 1991.

Amir Rusli adalah Peneliti di Pusat Pengkajian Teknologi Nuklir - BATAN, Jakarta

Artikel lain:
Persoalan Pokok pada Pembangkit Tenaga Listrik


[Sajian Utama][Sajian Khusus][Profil Elektro]

[KOMPUTER][TELEKOMUNIKASI][KENDALI][ELEKTRONIKA][INSTRUMENTASI][PII NEWS]


Please send comments, suggestions, and criticisms about ELEKTRO INDONESIA.
Click here to send me email.

[Edisi Sebelumnya]
© 1997 ELEKTRO ONLINE and INDOSAT NET.
All Rights Reserved.