ELEKTRO INDONESIA                      Edisi Perdana, Maret 1996

INSTRUMENTASI

Prof Dr Parangtopo :
Indonesia Perlu banyak ST dan STM Elektro

Foto Dr Parangtopo "Indonesia adalah importir peralatan atau instrumentasi sehingga tenaga teknisi instrumentasi terutama yang berpendidikan ST dan STM sangat banyak dibutuhkan, kata Prof Dr Parangtopo, Guru besar Fisika Universitas Indonesia (UI) yang aktif dalam banyak Proyek Pengembangan Universitas sejak 1973 hingga sekarang. Kekeliruan konsep pendidikan di sini, menurutnya, adalah dengan ditutupnya semua ST diganti SMP pada awal 80- an.

Profesor yang lahir di Temanggung, Jawa Tengah, 3 Maret 1935, saat ini menjabat sebagai Presiden Jaringan Pendidikan Fisika Asia-Pasifik (1992- 1997) dan Ketua Himpunan Fisika Indonesia (1988-1997), serta banyak aktif dalam organisasi ilmiah dan pendidikan. Mantan Dekan FMIPA-UI 1988-1994 ini memperoleh gelar Doktor bidang Fisika dan Matematika pada Universitas Lomonosov, Moscow, sedangkan gelar Profesor dalam Fisika dan Sains Material ia terima dari UI pada tahun 1986.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang perkembangan teknologi instrumentasi- elektronika dan kebutuhan SDM-nya, berikut wawancara ELEKTRO dengan Prof Parangtopo di kantornya, Kampus UI Salemba, Jakarta (Senin, 20 November 1995).

Apa pendapat Profesor tentang pendidikan teknik instrumentasi di Indonesia?

Pendidikan teknik instrumentasi sangat penting karena Indonesia adalah importir peralatan. Instrumentasi merupakan babon (induk-Red) suatu produksi, maka untuk mengimpor saja sudah dibutuhkan SDM yang mampu menguasai pemakaian dan pemeliharaannya. Untuk memproduksi instrumentasi terlalu berat, kita akan selalu ketinggalan karena perubahan konsepnya sangat cepat.

Bagaimana kaitan antara instrumentasi dan elektronika?

Memang dewasa ini semua alat atau instrumen tidak bisa lepas dari elektronika. Dalam instrumentasi paling tidak ada 4 bidang yang mesti dikuasai yaitu teknik tekanan rendah (teknik vakum), teknik tekanan tinggi, teknik temperatur rendah dan teknik temperatur tinggi. Semua alat berbasis keempat bidang itu dan didukung oleh elektronika. Elektronika inilah yang perubahannya sangat cepat dan tidak stabil.

Pada masa yang akan datang, perubahannya luar biasa. Pertama dengan munculnya nanoelektronik, jadi bukan lagi mikroelektronik. Ke dua adalah fotonik sehingga kita bisa menangkap radio dengan cahaya dan instrumen tidak dikontrol oleh elektron lagi melainkan foton atau cahaya. Saya baru saja dari Amerika, melihat suatu alat komunikasi dan alat kontrol baru yang digerakkan secara fotonik. Diagram sistem kontrol maju ini seperti diagram manajemen. Jadi, tidak seperti bidang-bidang lain yang dikatakan sangat cepat majunya, bidang elektronika dikatakan sangat cepat berubahnya atau konsepnya selalu berubah.

Dalam bidang pendidikan kita selalu ketinggalan. Biasanya pendidikan itumemang lambat berubah, sedangkan konsep elektronika selalu berubah. Nanti malah tidak disebut lagi elektronika tetapi fotonika. Sebagai misal, kuliah mikroelektronika di Indonesia baru dimulai tahun 70-an, bahkan di fakultas teknik baru tahun 80-an, padahal di negara asalnya sudah mulai tahun 50-an. Jadi, kita itu selalu lambat dan mengubah sikap pengajar itu butuh waktu lama. Masalahnya, kita harus menghadapi tantangan perubahan zaman, sehingga perubahan konsep pendidikan harus segera dimulai dari sekarang.

Bagaimana dengan pendidikan dasar dan menengah kita?

Di sini ada suatu konsep pendidikan yang keliru dengan ditutupnya ST-ST (Sekolah Teknik tingkat pertama yang diganti menjadi SMP - Red.). Padahal, ST dan STM sangat dibutuhkan, terutama di desa-desa. Saya sudah protes ke Bappenas dan Depdikbud, tetapi tidak digubris. Biasanya lulusan ST memperbaiki alat secara filing dengan sedikit perhitungan. Mereka lebih berhasil daripada tenaga yang hanya mengandalkan perhitungan saja, apalagi tenaga amatiran yang tanpa perhitungan. Demikian pula STM elektronika sekarang sangat dibutuhkan, sedangkan yang ada masih terlalu sedikit. Kalau begini terus nanti akan banyak bangkai peralatan elektronika karena tidak adanya tangan-tangan trampil yang mau mengutak-utik peralatan yang rusak.

Kalau semua hanya mengandalkan pendidikan tinggi, konyol, kita bisa kalah dalam persaingan global. Menurut pendapat saya, kalau toh pemerintah tidak mampu membiayai sekolah-sekolah teknik, mestinya mengizinkan swasta mendirikan ST-ST dan STM-STM. Saya yakin mereka bisa menemukan pekerjaan di tengah masyarakat tanpa harus menjadi pegawai negeri. Karena kita akan menjadi pengimpor besar alat elektronik dan akan banyak tersebar di masyarakat.

Jadi, perlu diubah konsepsinya dan saya kira justru harus diperbanyak pasukan-pasukan teknik dasar dan menengah sampai ke desa-desa. Mengapa banyak ST dan STM ditutup, mestinya malah dibantu? Sekarang banyak listrik masuk desa, elektronika masuk desa, sehingga dibutuhkan ribuan bahkan jutaan tenaga teknisi tingkat bawah.

Untuk mempercepat perubahan kuantitas dan kualitas SDM elektronika ini, apa yang dibutuhkan Indonesia?

Menurut pendapat saya, diperlukan suatu institusi riset khusus elektronika yang kuat sehingga pendidikannya bisa diubah secara cepat. Lambatnya pendidikan di Indonesia karena lembaga risetnya terlalu lambat, padahal perkembangan di luar sangat cepat. Saya (Jurusan Fisika UI - Red) sudah mengirimkan staf pengajar untuk mendalami fotonika dan nanoelektronika atau nanotechnology, sedangkan di jurusan Teknik Elektro malah belum. Di luar negeri orang elektro sudah mengarah ke nanoelektronika. Di negara kita belum ada orang yang benar-benar mengerti konsepsinya.

Lembaga riset yang kuat itu dapat dicangkokkan ke perguruan tinggi yang sudah mapan seperti ITB (Institut Teknologi Bandung - Red). PAU Mikroelektronika ITB misalnya, diubah saja, tidak hanya mikroelektronika melainkan juga nanoelektronika dan fotonika. Diharapkan lembaga itu cepat berinteraksi dengan pendidikan sehingga konsep elektronika yang cepat berubah itu dapat mempengaruhi pendidikan kita.

Bila konsepnya cepat berubah, bagaimana dengan peralatan labotarorium dan sistem kontrol industri?

Di negara maju tidak masalah. Misalnya di instansi yang besar seperti Fermi Lab, Argon Lab, dan CERN, tiap dua tahun selalu diganti dengan yang baru. Sistem kontrol yang sudah bagus tetapi konsepnya ketinggalan dua tahun itu dijual kepada industri karena sebelumnya belum ada di industri. Jadi sistem kontrol di lembaga riset selalu baru setiap dua tahun. Di sana ada riset pembaharuan sistem kontrol. Indonesia memang masih terlalu berat. Tetapi kita menghadapi problem terbaru tentang nanoelektronika dan fotonika ini sehingga perlu segera dibentuk lembaga risetnya agar dapat menguasai teknologi abad ke-21.

Institusi mana yang kira-kira mampu melakukan riset itu?

Saya mengharapkan ITB dapat melakukan kegiatan itu karena lebih senior dan lebih mapan daripada perguruan tinggi lain. Tetapi para pimpinan universita harus sadar, agar tidak terlalu birokratis. Lembaga itu harus memiliki otonomi yang luas supaya cepat bergerak sehingga dapat dicontoh perguruan tinggi lainnya.

Apa alasan UI mendirikan program D-III instrumentasi? Adakah pasar yang membutuhkan?

Kita tahu bahwa D-III ini penting. Dahulu zaman Belanda pernah ada tetapi kemudian ditutup oleh pemerintah. Teknisi lulusan D-III instrumentasi diharapkan mampu menguasai 4 komponen dasar tadi yaitu teknik tekanan rendah, tekanan tinggi, temperatur rendah dan temperatur tinggi dengan kontrol secara elektronis. Selanjutnya akan ada spesialisasi pada masing- masing komponen itu. Namun kemampuan kita baru mampu mendalami teknik tekanan rendah dan teknik temperatur rendah. Sedangkan peralatan untuk tekanan tinggi dan temperatur tinggi sangat sulit. Di Indonesia masih sedikit peralatan tekanan tinggi dan temparatur tinggi, itupun belum dikontrol secara elektronis.

D-III instrumentasi merupakan gabungan antara teknik elektro dan teknik mesin. Ternyata lulusan D-III ini banyak dibutuhkan industri.

Mengapa program teknik instrumentasi-elektronika berada di fakultas MIPA?

Sebenarnya teknik instrumentasi itu seperti teknik fisika pada fakultas teknik. Hanya karena kecil maka dimasukkan sebagai program studi di Jurusan Fisika FMIPA.

Bagaimana dengan gelar lulusannya?

Sekarang gelar sarjana sudah seragam bentuknya. Tidak ada lagi pemberian gelar insinyur dan doktorandus. Menurut saya gelar profesi seperti insinyur itu harus diberikan oleh perusahaan atau organisasi profesinya setelah bekerja. Sebagai contoh ada lulusan Fisika yang diberi gelar Pipe Engineer karena pekerjaannya sehari-hari di bidang perpipaan. Memang masih ada instansi yang masih mensyaratkan gelar insinyur atau harus dari fakultas teknik dalam penerimaan pegawai baru. Tetapi sekarang sudah banyak perusahaan yang mendasarkan pada hasil tes. Pernah ada satu sarjana instrumentasi bersaing dengan dua sarjana teknik elektro dan setelah dites ternyata hanya sarjana instrumentasi itu yang diterima.

Pendapat Profesor tentang Akreditasi Insinyur yang akan dilakukan oleh Persatuan Insinyur Indonesia?

Akreditasi itu bagus kalau dilaksanakan secara jujur, tidak dimanipulasi. Jangan seperti perguruan tinggi komputer yang tidak ada apa-apanya kemudian diakreditasi menjadi disamakan. Demikian pula gelar insinyur, mestinya hanya diberikan kepada mereka yang bekerja di bidang engineering, bukan hanya bekerja di bidang administrasi. Kalau ada insinyur yang sudah tidak bekerja lagi di bidangnya, gelar insinyurnya harus dicabut. Sekarang banyak orang bergelar insinyur yang hanya mengurusi uang dan tanda tangan kuitansi. Itu jelas bukan insinyur lagi meskipun asalnya dari fakultas teknik. Sebaliknya bila seorang sarjana yang bukan dari fakultas teknik tetapi bekerja di bidang engineering yang sesuai keahliannya, ia berhak memperoleh gelar insinyur setelah melalui akreditasi.

(Pewawancara: Rusmanto)

[Sajian Utama] [Sajian Khusus] [Profil Elektro]

[KOMPUTER] [KOMUNIKASI] [KENDALI] [ENERGI] [ELEKTRONIKA] [PII NEWS]


Please send comments, suggestions, and criticisms about ELEKTRO INDONESIA.
Click here to send me email.
© 1996 ELEKTRO ONLINE and INDOSAT NET.
All Rights Reserved.