ELEKTRO INDONESIA                  Edisi ke Lima, Desember 1996

SAJIAN KHUSUS

Mempertanyakan Struktur Industri Manufaktur Nasional

Pendahuluan

Setelah harga minyak benar-benar jatuh tahun 1986, arah kebijakan industrialisasi bukan lagi ke substitusi impor melainkan menekankan pada peningkatan efisiensi, persaingan dan berkiblat ekspor. Upaya ini dicapai lewat pemangkasan birokrasi dan beaya-beaya administrasi (deregulasi), dan pengandalan keunggulan komparatif berdasarkan pada tenaga murah dan sumber daya alam. Pengamat ekonomi menilai kebijakan ini sangat berhasil dan pertumbuhan sektor manufaktur terus meningkat (The Kwian Wie, 1994). Sejak itu pula pangsa sumbangan industri sudah melebihi pangsa sumbangan pertanian dan semakin dominan dalam pembangunan nasional. Bahkan, laporan pertumbuhan produk domestik bruto di atas 7 persen dari Bank Pembangunan Asia dan Dana Moneter Internasional (Jawa Pos, 19 April 1996) ikut memperkuat pernyataan keberhasilan kebijakan tersebut.
Walaupun begitu, Indonesia masih belum bisa dikategorikan sebagai Negara Industri Baru di era informasi ini. Selain ekspor manufaktur industri nasional ke dunia masih kecil, yaitu sekitar 0,5% tahun 1990, memang, mode produksi industri di Indonesia masih berada dalam gelombang kedua (fabrikasi industrial), baik itu sektor ekonomi, sumber daya alam yang dialih ragamkan, maupun metodologi yang digunakan, dan belum berada dalam gelombang ketiga atau era informasi (Ferryanto, 1988). Ambil contoh, jaringan telepon yang merupakan produk era informasi di Indonesia baru mencapai penetrasi sekitar satu persen dari seluruh penduduk Indonesia, sedangkan negara anggota ASEAN telah mencapai penetrasi lebih dari 10 persen (Alisjahbana, 1995).
Dengan semakin dominannya sektor industri dalam pembangunan nasional, yang berarti semakin menentukan kehidupan bangsa ini, dan tekanan bersaing global dalam era informasi kita dituntut untuk memeriksa dengan seksama pilar industrialisasi yang sedang berjalan, yaitu penguasaan teknologi dan mutu sumber daya manusianya/SDM (Ferryanto, 1995a).

Struktur Industri Nasional

Pertumbuhan ekonomi, terutama dilihat dari ekspor komoditas manufaktur, sering ditafsirkan sebagai proses pemantapan industrialisasi nasional. Penafsiran semacam ini, kalau tidak hati-hati, dapat menyederhanakan proses industrialisasi sebagai proses yang hanya berkiblat pada pemecahan masalah pasar (market-pull) jangka pendek.
Mendekati proses industrialisasi dari aspek pasar sering mengabaikan struktur teknis industri itu sendiri, atau menganggap struktur tersebut sebagai black box. Pendekatan semacam ini hanya mempersoalkan masukan untuk mendapatkan keluaran yang sebesar-besarnya. Padahal esensi dari suatu industri adalah kemampuan rancang bangun dan rekayasa dalam menguasai teknologi, dan dukungan mutu SDM-nya (Juoro, Kompas, 22 Maret 1996). Jika industri nasional tidak memumpun pada esensi industri tersebut, mereka tidak mungkin menghasilkan keluaran yang besar dan berkelanjutan. Akibatnya, daya saing industri nasional, yang berarti pertumbuhan ekonomi nasional, diragukan kelanggengannya (baca: untuk dinikmati oleh bangsa sendiri).
Data perkembangan ekspor hasil industri nasional praktis masih mengalami ketergantungan pada 10 komoditas industri andalan. Bahkan, hanya 5 dari 10 andalan yang menunjukkan kinerja ekspor di atas 500 juta dollar AS, sisanya masih jauh di bawah itu (Kompas, 21 September 1995). Kesepuluh industri andalan itu adalah tekstil dan produk tekstil; pengolahan kayu; kulit, barang kulit dan sepatu/alas kaki; pengolahan karet; elektronika; besi baja, mesin dan automotif; pengolahan kelapa/kelapa sawit; pulp dan kertas; makanan dan minuman; pengolahan tembaga dan lainnya. Semua komoditas andalan industri ini sangat peka terhadap pasar karena didominasi oleh produk-produk padat karya dan padat sumber daya alam.

Perbandingan Indeks Komposisi Ekspor Manufaktur Beberapa Negara Asia
Tabel 1
NegaraTahun 1970Tahun 1993Tahun 1993*)
Idonesia
Malaysia
Korea
Taiwan
Singapura
Jepang
Cina
Filipina
Muangthai
0,19
0,24
0,37
0,57
0,47
0,80
0,22
0,1
0,15
0,34
1,72
1,07
1,19
1,79
1,3
0,58
0,95
0,92
0,24
0,47
0,53
0,50
0,67
0,89
0,36
0,33
0,43
*) Ekspor komputrer dan elektronik dikeluarkan dari daftar ekspor
Sumber: (Ray, Prisma, No. 9, 1995).

Sepuluh andalan tersebut memberi sumbangan 72,08 persen terhadap nilai total ekspor nonmigas. Bila dilihat dari total ekspor industri, maka sumbangan 10 andalan ini mencapai 84,66 persen, atau 53,83 persen terhadap ekspor total Indonesia bulan Januari-Mei 1995. Sektor lain, seperti kimia dasar, pengolahan rotan, farmasi, kerajinan emas, perak, tembaga dan lainnya, ternyata sulit berkembang dengan cepat. Negara-negara tetangga seperti Malyasia, Filipina, Thailand, Singapore dan Korea mempunyai sumbangan ekspor manufaktur di atas 70 persen dari ekspor total.
Dua komoditas padat modal (berkandungan teknologi) yang menjadi andalan adalah elektronika dan besi baja dan automotif. Sayangnya, hampir separuh hasil ekspor komoditas elektronika digunakan untuk membeayai kebutuhan impornya, terutama untuk komponen elektronika yang sangat kecil. Kurangnya industri pendukung seperti devices, fiber, motor, kompresor, batere, controller, tranformer, dan coil, khususnya semikonduktor, melemahkan struktur industri elektronika nasional (Kompas, 2 Februari 1995).
Sementara itu, besi baja dan automotif yang menduduki peringkat keenam dalam ekspor harus tekor untuk menutupi impornya. Nilai ekspornya hanya sepersepuluhnya saja dari impor bahan penolong, barang modal dan suku cadang. Lebih buruk lagi, industri automotif nasional belum pernah mampu melepaskan ketergantungan industrinya terhadap pendiktean prinsipalnya di luar negeri (Kompas, 31 Januari 1995). Karena itu industri manufaktur yang berkembang merupakan footloose industries, yang mudah pindah ke tempat lain, kalau tempat lain lebih menguntungkan.
Struktur industri suatu negara dapat juga dilihat melalui “indeks komposisi teknologi” ekspor manufaktur. Indeks ini dikembangkan oleh peneliti-peneliti Centre for Strategic Economic Studies, Universitas Victoria, di Melbourne Australia. Indeks ini didasarkan pada nisbah litbang dan produksi, rerata tingkat pengeluaran penelitian dan pengembangan per unit produksi. Nisbah litbang dan produksi tertinggi berurutan adalah industri pesawat terbang, komputer dan elektronik; sedangkan terendah adalah industri kayu dan mebel, kertas dan percetakan serta tekstil dan pakaian jadi.
Angka indeks suatu negara yang melebihi satu menunjukkan ekspor negara tersebut mempunyai intensitas litbang yang tinggi, sedangkan angka yang kurang dari satu menunjukkan kosentrasi dalam industri dengan intensitas litbang yang rendah.
Informasi dari indeks yang diperoleh menjelaskan bahwa dalam dua setengah dekade struktur industri nasional tidak bergeser, tidak mendasarkan pada penguasaan teknologi (litbang). Hal ini sangat berbeda dengan negara-negara tetangga kita yang telah bergerak ke arah produksi ekspor yang lebih berkadar pengetahuan (ciri era informasi). Indeks tersebut juga mengungkapkan kegagalan Indonesia memanfaatkan idustri ekspor komputer dan elektronik lokal dibandingkan negara tetangganya.
Beberapa fakta dan indikasi di atas menunjukkan bahwa struktur industri nasional masih rapuh. Dan ini ternyata melemahkan daya saing komoditas industri nasional di pasar dunia dan pada akhirnya kinerjanya, kemampuan industri nasional menyedot surplus labour yang berasal dari sektor pertanian dan pedesaan, lemah (Bisnis Indonesia, 16 Oktober 1996). Keunggulan kompetitif, salah satu ciri utama industri era informasi, yang mengutamakan penguasaan sendiri teknologi yang dikembangkan terus menerus oleh kita sendiri (science and technology push) tidak tercermin dalam komoditas andalan industri nasional. Persaingan terbuka mulai tahun 2003 (AFTA) dan menyusul kemudian APEC tahun 2010 benar-benar merupakan ajang “pertempuran” untuk menguji keamampuan industri nasional. Ini jelas penuh resiko. Bukan hanya produk dan jasa asing yang akan menyerbu kita, tetapi juga modal asing berserta standar-standar internasional dan SDM unggulnya. Kegagalan dalam memperkuat struktur industri nasional akan mengancam pertumbuhan ekonomi nasional.
Rapuhnya struktur industri nasional mungkin juga karena penerapan strategi nasional dalam penguasaan teknologi yang lemah, tidak menaruh perhatian yang serius pada pembangunan infrastruktur ilmu pengetahuan yang kukuh (Ferryanto, 1995b). Strategi yang lebih memberdayakan dunia usaha ‘hanya’ lewat penggunaan lisensi adalah pilihan yang telah dicanangkan sekitar sepuluh tahun yang lalu dan, baru-baru ini, diulang lagi oleh menteri perindustrian dan perdagangan Tungky Ariwibowo (1996b). Kenyataannya, sampai kini, industri nasional masih sangat tergantung secara teknologis pada prinsipalnya di luar negeri.
Memang, ada pernyataan yang mengatakan bahwa kita tidak perlu mempedulikan tentang industrialisasi, karena jaman sudah masuk ke era informasi. Apa mungkin kita berhasil memasuki era informasi tanpa punya pengalaman (baca: pondasi) yang kuat di bidang industri ?

Bersambung ke Keberadaan Dunia Pendidikan Tinggi