ELEKTRO
Nomor 28, Tahun VI,  Oktober 1999
ENERGI

Desulfurisasi Mencegah Hujan Asam

Home
Halaman Muka


Sajian Utama
Komunikasi
Kendali
Elektronika

 

Masalah energi berkaitan sangat erat dengan masalah kehidupan di muka planet bumi ini. Sepanjang sejarah kehidupan umat manusia telah mencatat bahwa pertumbuhan penduduk dan perkembangan peradaban mengakibatkan meningkatnya permintaan energi. Sudah sejak berabad-abad lampau manusia menggunakan batubara sebagai mineral yang dapat dibakar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi.

Sisa-sisa pengapian dengan batubara telah dirunut sampai ke masa pra-sejarah. Manusia primitif di masa lampau mencari batubara untuk membuat tungku perapian. Batubara sudah ditambang di Tiongkok dan Yunani sejak berabad-abad Sebelum Masehi. Sedang di Jerman, batubara sudah mulai ditambang sejak lebih dari 1000 tahun lalu, di Inggris ditambang pada abad ke-13. Para pandai besi pada saat itu memanfaatkan batubara untuk pemanasan besi.

Revolusi industri di Inggris pada pertengahan abad ke-18 telah menempatkan batubara sebagai sumber energi utama. Memasuki abad ke-20, peran batubara mengalami pasang surut, namun tetap memegang peranan penting sebagai bahan bakar, lebih-lebih setelah persediaan minyak turun dan harganya naik. Sejak sekitar dua abad yang lampau batubara mulai memegang peranan sebagai sumber energi utama dalam kehidupan umat manusia. Kini batubara merupakan salah satu sumber energi yang sangat penting, terutama dalam kaitannya dengan mesin uap untuk membangkitkan tenaga listrik.

Permintaan bahan bakar yang berasal dari fosil (batubara, minyak bumi dan gas alam) terus menunjukkan peningkatan setiap 20 tahun sejak 1900. Permintaan bahan bakar itu jauh lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan jumlah penduduk. Sebagai contoh adalah kasus di Amerika Serikat (AS). Antara tahun 1960 dan 1980, jumlah populasi di AS meningkat hingga 25%, namun permintaan energi total naik sampai 80 %, yang berarti lebih dari tiga kali kenaikan jumlah penduduk. Gejala yang sama juga terlihat di negara-negara industri lainnya.

Peningkatan permintaan energi berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi. Sebagai buktinya adalah meningkatnya permintaan energi untuk transportasi. Kendaraan bermotor di AS pada tahun 1970 menghabiskan kira-kira 91 milyar galon bahan bakar, meningkat menjadi kira-kira 115 milyar galon pada tahun 1980. Para ahli meramalkan bahwa bahan bakar fosil ini akan mensuplai lebih dari 75 % kebutuhan energi dunia menjelang tahun 2000. Batubara menempati posisi cadangan mineral terbanyak di dunia. Saat ini batubara menyediakan sekitar 30 % energi dunia, 22 % dari jumlah itu dikonsumsi di AS.

Ancaman Hujan Asam

Pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan peradaban umat manusia yang diiringi dengan meningkatnya konsumsi bahan bakar fosil telah memunculkan masalah krisis ekologi besar berupa pencemaran lingkungan skala dunia. Dalam batubara terdapat belerang atau sulfur (S) yang apabila dibakar berubah menjadi oksida sulfur. Masalah utama berkaitan dengan peningkatan penggunaan bahan bakar fosil adalah dilepaskannya gas-gas polutan penyebab hujan asam, seperti carbon dioksida (CO2), oksida nitrogen (NOx) dan oksida sulfur (SOx).

Walaupun sebagian besar pusat tenaga listrik batubara telah menggunakan alat pembersih endapan (presipitator) untuk membersihkan partikel-partikel kecil dari asap batubara, namun SOx yang merupakan senyawa gas dengan bebasnya naik melewati cerobong dan terlepas ke udara bebas. Senyawa itu kemudian bercampur dengan udara di sekitar dan dihembuskan oleh angin. Sebagian SOx akan jatuh dan perlahan-lahan terserap oleh tanah dan tanaman, tetapi sebagian besar tetap berada di udara selama beberapa hari.

Gambar
Gambar

Dilihat dari sumbernya, SOx sebanyak 2,4 % berasal dari pembakaran bahan bakar minyak untuk transportasi, sebanyak 73,5 % berasal dari pembakaran stationer bahan bakar fosil di pusat pembangkit listrik, dan sebanyak 22 % dari pembakaran batubara dalam proses industri. Gas oksida sulfur terdiri atas gas SO2 dan gas SO3 yang keduanya mempunyai sifat berbeda. Gas SO3 berasal dari SO2 yang bereaksi dengan oksigen di udara. Antara 1-5 % SO2 teroksidasi langsung menjadi SO3. Kedua gas tersebut bereaksi dengan uap air yang ada di udara sehingga membentuk H2SO3 (asam sulfit) dan H2SO4 (asam sulfat). Apabila asam tersebut terkondensasi di udara dan kemudian jatuh bersama-sama air hujan, maka terjadinya hujan asam tidak dapat dihindari lagi. Melalui proses ini, pelepasan SOx dari pembakaran batubara dapat menimbulkan hujan asam di daerah sejauh beratus-ratus km.

Sebagian kota besar utama di dunia dewasa ini harus berjuang menanggulangi masalah pencemaran udara tingkat tinggi yang menjurus ke arah terjadinya hujan asam. Di samping itu, kabut asap pencemar udara dari kota-kota besar dan industri dapat terbang menuju ke tempat-tempat lainnya. Sebagai contoh adalah Los Angeles dan California yang tidak memiliki komplek industri berat dan hanya sedikit membakar batubara atau minyak bumi. Namun kedua kota tersebut merupakan kota besar yang paling dilanda asap dan kabut sejak sekitar tahun 1950-an. Sejak tahun 1960-an, masalah ini telah menjadi lebih komplek.

Dalam keadaan normal, udara yang berada di permukaan tanah dihangatkan oleh panas yang dipancarkan oleh permukaan tanah. Udara itu kemudian naik sambil membawa zat pencemar ke atas yang kemudian dihembus oleh angin di udara bagian atas. Jika terjadi inversi suhu, udara yang hangat akan berada di atas udara dingin sehingga mengurung zat pencemar yang akhirnya tertimbun dalam konsentrasi yang membahayakan jika inversi suhu berlangsung dalam waktu cukup lama.

Pada tahun 1970-an, para ilmuwan dari AS dan Kanada menemukan bahwa hujan dan salju asam jatuh di seluruh wilayah AS bagian timur, di Kanada bagian tenggara, dan di beberapa wilayah sekitar kota-kota di bagian barat. Pada tahun 1980-an, hujan asam menyebar ke wilayah bagian selatan dan barat hingga menyebrangi AS. Para ilmuwan telah berhasil mempelajari penyebab terjadinya hujan asam tersebut. Sumber SO2 yang paling utama adalah di Mississipi bagian hulu dan lembah Ohio, keduanya merupakan tempat yang banyak terdapat pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara. Senyawa SO2 yang dilepaskan ke udara berubah menjadi asam sulfat dalam waktu 2-3 hari, dan hujan asam yang diakibatkannya dapat mencapai wilayah sejauh 800-1.600 km.

Masalah hujan asam mulai terasa sejak awal tahun 1950-an. Masalahnya menjadi bertambah parah karena jumlah total SO2 yang terlepas ke udara terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah permintaan energi listrik. Sebagai akibatnya adalah terjadi peningkatan secara cepat derajad keasaman hujan sejak tahun 1960-an. Keadaan ini telah menimpa AS bagian timur laut serta beberapa bagian Kanada sebelah timur, Norwegia bagian selatan dan Swedia. Di daerah-daerah tersebut, sungai dan danau telah menjadi terlalu asam bagi ikan dan kehidupan lainnya. Hujan asam dapat menarik keluar logam beracun seperti merkuri dari sedimen sehingga masuk ke dalam air dan membahayakan kehidupan.

Hujan asam juga dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman yang berakibat lebih lanjut pada kerusakan hutan dan pengikisan lapisan tanah yang subur. Hal ini merupakan awal terjadinya ketandusan lingkungan yang dapat menurunkan daya dukung alam terhadap kelangsungan hidup manusia. Kerusakan hutan-hutan di Jerman misalnya, disebabkan oleh banyaknya industri peleburan besi dan baja yang melibatkan pemaikan batubara dan minyak bumi di negeri itu. Konsentrasi SOx sebesar 0,5 ppm sudah dapat merusakkan tanaman.

Asam sulfat yang terkandung di dalam hujan asam juga bersifat sangat reaktif, mudah bereaksi (memakan) benda-benda lainnya sehingga menyebabkan kerusakan, seperti proses pengkaratan (korosi) serta proses kimiawi lainnya. Cat pada bangunan gedung seringkali termakan oleh gas SOx dan berubah warnanya menjadi kusam kehitam-hitaman karena timbal oksida (PbO) sebagai bahan dasar pembuat cat bereaksi dengan SOx menjadi PbS. Jembatan juga dapat menjadi rapuh karena proses pengkaratan yang dipercepat oleh adanya SOx ini. Mengingat munculnya berbagai masalah tersebut, kiranya para pengelola PLTU batubara perlu memperhatikan masalah dampak pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pembakaran batubara.

Metode Desulfurisasi

Di berbagai belahan dunia, dewasa ini manusia mulai sadar akan perlunya menyelamatkan lingkungan. Tindakan-tindakan protektif kini mulai diperkenalkan untuk melindungi sumber-sumber alam yang tak ternilai harganya ini dari proses kehancuran total. Dengan upaya ini diharapkan membuahkan hasil dalam bentuk berkurangnya kualitas maupun kuantitas kerusakan lingkungan, seperti menurunnya jumlah penggundulan hutan tropis akibat hujan asam serta berkurangnya tingkat polusi dari industri.

Tingginya tingkat pembakaran batubara dewasa ini menyebabkan sulitnya melindungi ekosistim dari hujan asam. Di bebarapa danau para ilmuwan telah mencoba mencegah efek hujan asam dengan cara menambahkan kapur. Hal ini mungkin dapat membantu mengatasi permasalahan sementara, tetapi kapur tampaknya tidak akan mampu menyelesaikan semua permasalahan. Penyebaran kapur memerlukan biaya yang sangat mahal dan danau yang harus ditaburi kapur jumlahnya mencapai ribuan.

Untuk penyelesaian jangka panjang, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menghindari terjadinya hujan asam adalah dengan menghentikan sumber hujan asam tersebut. Namun sumber itu ternyata cukup banyak dan tersebar luas di berbagai penjuru dunia. Menurunkan tingkat pelepasan SO2 dari pusat pembangkit listrik akan memakan biaya yang sangat besar.

Sebagai upaya untuk mencegah berlanjutnya hujan asam, dewasa ini telah dikembangkan sistim perlatan berteknologi tinggi yang mampu memisahkan oksida sulfur dari gas buang yang dikeluarkan cerobong, baik dari pusat pembangkit listrik maupun industri lainnya yang membakar batubara. Pemisahan oksida sulfur dari gas buang sering menjadi pilihan meskipun agak sulit dilakukan. Kesulitan ini terutama karena oksida sulfur bercampur dengan gas buang dengan volume yang cukup besar sehingga kadarnya sangat rendah. Beberapa gram oksida sulfur biasanya terdistribusi merata dalam volume 1 meter kubik gas buang.

Metode pemisahan oksida sulfur yang lebih dikenal dengan istilah desulfurisasi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan metode basah (wet method) dan metode kering (dry method). Cara pertama disebut metode basah karena menggunakan cairan sebagai media penyerap sulfur. Cara kedua disebut metode kering karena bahan-bahan padat seperti oksida metal dan arang aktif digunakan sebagai pengikat sulfur. Namun saat ini hanya arang aktif yang masih digunakan untuk keperluan praktis.

Sebagian besar peralatan desulfurisasi yang dioperasikan dewasa ini bekerja menggunakan metode basah. Salah satu peralatan jenis ini adalah alat desulfurisasi yang menggunakan penyerap/pengikat batu kapur (lime stone) atau Ca(OH)2. Gas buang dari cerobong dimasukkan ke dalam alat sehingga SO2 bereaksi dengan Ca(OH)2 dan diperoleh hasil pemisahan berupa gipsa (gypsum). Gas buang yang keluar dari sistim desulfurisasi sudah terbebas dari oksida sulfur.

Di masa lampau, banyak orang mengira bahwa peralatan untuk mencegah polusi udara seperti peralatan desulfurisasi tadi tidak ekonomis karena perlu biaya mahal dan membebani biaya operasi suatu instalasi. Namun saat ini, peralatan tersebut ternyata memegang peranan yang sangat penting, terutama dalam kaitannya untuk mencegah berlanjutnya hujan asam yang dapat mengakibatkan krisis ekologi secara global, yang akhirnya dapat membinasakan kehidupan di muka bumi ini. q

Mukhlis Akhadi
Peneliti Madya di PSPKR - Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta

Artikel lain:
Panel Berisolasi Gas


| SAJIAN UTAMA |
| KOMUNIKASI | KENDALI | ELEKTRONIKA |

Please send comments, suggestions, and criticisms about ELEKTRO INDONESIA.
Click here to send me email.
| Halaman Muka
© 1996-1999 ELEKTRO Online.
All Rights Reserved.